SIEMENS - SCHUCKERT - CIRCUIT BREAKER 3 kV

SIEMENS - SCHUCKERT - Awalnya saya mendapatkan kiriman beberapa photo dan sedikit informasi mengenai Circuit Breaker buatan Siemens dari teman yang bekerja disalah satu perusahaan. Uniknya peralatan ini telah berumur 110 tahun lebih dan masih bekerja dan terus dimaintain.

Karena bagi saya hal ini sangat menarik, makanya saya share disini, mungkin saja ada dari teman - teman yang tertarik dan untuk berbagi pengalaman ataupun ilmu atau apapun lah namanya. Intinya, masih ada teknologi 1900 yang masih bekerja dan masih digunakan hingga saat ini.

Oh ya, Siemens Schuckert merupakan produk Siemens juga yang pada awal tahun 1900 masih menggunakan nama SIEMENS SCHUCKERT dan sekitar tahun 1960 berganti nama menjadi SIEMENS AG. Untuk informasi sejarahnya silahkan googling aja ya.

Disini saya mendapat beberapa photo dan vidio mengenai CB seperti yang saya jelaskan diatas.
Pertama name plate CB terebut, seperti photo dibawah ini, tertulis disana SIEMENS SCHUCKERT :


Photo dari atas :

 Pada gambar tersbut terlihat 6 buah isolator putih yang terbuat dari keramik, sebagai termina 3 phasa.



Photo dari depan :

Pada photo dari depan ini terlihat  terlihat bentuk CB tersebut dengan tuas panjang sebagai mekanikal untuk memasukan CB. 




Photo diatas merupakan photo tampak dari samping







Dan ini photo dari depan ketika kompartmen minyak diturunkan.


Kompartmen minyak tersebut berfungsi sebagi peredam busur api ketika proses switching dilakukan dengan menaikan atau menurunkan tuas.

Nah ini vidio proses switching ketika tuas digerakan, terlihat penghubung yang terangkat ketika kondisi mau di- ON-kan



Bagaimana menurut teman - teman ? Menarik bukan ? Berdasarkan ingormasi yang saya dapat CB ini sudah berumur cukup tua seratus tahun lebih dan masih digunakan.

Tambahan informasi , CB ini digunakan untuk outgoing 3 kV dari PLTA dengan kapasitas 2 x 650 kVA yang beroperasi sejak 1908. Berarti sebelum Indoensia Merdeka, ini semasa dengan BudiUtomo kalau ga salah.

PLTA nya masih beroperasi, dan belum secanggih Micro Hydro saat ini. Kapan - kapan akan saya share jug amengenai PLTA ini setelah dapat kiriman photo dari teman tersebut.







 

Proteksi Over Flux Pada Transformator


Proteksi Over Flux Pada Transformator -
Pada artikel sebelumnya kita telah membahas apa dan bagaimana over flux pada sebuah trasnformator. Seperti yang sudah dijelaskan pada artikel tersebut, Over Flux pada transformator dapat menimbulkan efek yang berbahaya terhadap kelansungan umur sebuah transformator.

Dan juga telah dijelaskan pula bahwa jumlah fluks ɸ pada inti transformator sebanding dengan nilai V / F , yaitu perbaningan antara Tegangan dengan Frekuensi. 

Umumnya sebuah Transformator, telah dirancang untuk mampu menahan over flux , dengan kelipatan sampai 1.1 ( V / F x 1.1 ) secara terus menerus, (V adalah  tegangan masukan ke transformtor dan F adalah frekuensi). 

Dan untuk kondisi over flux dengan kelipatan V / F lebih dari 1.1 , operasional Transformator hanya dibatasi untuk beberapa menit saja agar terlindung dari rugi - rugi inti yang semakin naik dan pemanasan yang berlebih pada inti transforamtor tersebut. 

Tidak ada standar baku berapa besar durasi lamanya tranformator beroperasi ketika terjadi over flux, karena tergantung pada rangcangan awal Transformator tersebut dan berdasarkan rekomendasi pabrikan yang membuat transformator. 

Berikut adalah contoh tabel durasi lamanya over flux yang diijinkan :

V/F
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
Durasi Beroperasi terus menerus
Terus
beroperasi
2 menit
1 menit
0.5 menit
OFF

Pada tabel , V/F adalah Tegangan Nominal Trafo dan Frekuensi Nominal Trafo, misalkan sebuah Transformator 150 kV /6.3 kV dengan frekeunsi  50 Hz. Maka V / F nya adalah : 1

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ketika Over Flux terjadi, sehingga perbandingan V / F mencapai nilai 1.5, tranformator harus segera di-OFF-kan untuk menghindari kemungkinan terjadinya  kerusakan permanen didlam internal transformator.

Proteksi Over Flux Pada Transformator



Over Flux tidak dapat dihindari, karena gangguan Over Voltage dan Under Frekuensi dapat saja terjadi setiap saat dan durasi gangguan tersebut tidak bisa dipastikan seberapa lamanya. Dari hal tersebut, kita memerlukan proteksi pada tansformator tersebut terhadap kejadian Over Flux. Kode ANSI untuk Proteksi Over Flux adalah 24, dan penamaan lainnya adalah Volts-per-Hertz Relay / Overfluxing.

Faktor penting yang perlu diperhatikan ketika menerapkan proteksi ini adalah kondisi dan kehandalan sistim jaringan dilokasi transformator tersebut dipasang dan dioperasikan. Karena hal ini mempengaruhi besarnya perbandingan V / F yang dapat memicu terjadinya Over Flux pada sebuah transformator dan durasi waktu pemicu terjadinya Over FLux, yaitu lamanya lonjakan tegangan dan dropnya Frekuensi pada suatu sistim.

Pemicu Over Flux (lonjakan tegangan dan drop frekuensi) pada sebuah jaringan listrik dapat saja terjadi kapan saja, semakin handal dan kuat sistim jaringan tersebut akan semakin jarang terjadi lonjakan tegangan dan drop frekuensi dan kalaupun itu terjadi waktu recovery terhadap kejadian lonjakan tegangan dan under frekuensi pada sistim akan semakin cepat. Lepasnya saluran interkoneksi, gangguan transmisi, off nya beberapa pembangkit pembangkit pada sistim interkoneksi, reclosing transmisi, island mode merupakan contoh - contoh yang dapat menyebabkan terjadinya lonjakan tegangan dan frekuensi drop pada sistim ajringan kelistrikan.

Ketika kita menerapkan proteksi overflux , kurva tripping yang akan diterapkan menjadi hal yang sangat penting. Yang biasa digunakan adalah kurva karakteristik Inverse dengan pertimbangan semakin besar rasio V/F maka waktu trippingnya akan semakin cepat yang disesuaikan dengan tabel diatas tadi.

Demikian dulu, semoga membantu.



Over Flux Pada Transformator

Over Flux Pada Transformator -  Over flux pada sebuah transformator terjadi ketika kerapatan fluks magnet pada inti transformator meningkat ke level yang sangat tinggi, yang mengakibatkan rugi - rugi pada inti  (core loss) meningkat, sehingga temperatur komponen internal pada transformator menjadi naik yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pada internal transformator.



Dari ilmu dasar transformator , kita mengenal formula :  V = √2 . π . f . N . ɸ

Sehingga ɸ = V / (√2 . π . f . N )

Dimana ɸ merupakan besarnya flux pada inti transforamtor, V tegangan input, f: frekuensi dan jumlah lilitan (primer atau sekunder).

Dari formula diatas terlihat nilai ɸ (flux) sebanding dengan nilai tegangan (V ) dan berbanding terbalik terhadap nilai frekuensi () dengan asumsi banyaknya belitan () adalah konstan.

Sehingga parameter yang mempengearuhi besaran flux (ɸ ) adalah  :

1. Tegangan Supplay (V), dimana ɸ akan meningkat apabila tegangan (V) Tinggi

2. Frekeuensi Suplay (), dimana ɸ akan meningkat apabila Frekuensi () rendah

3. V = Tinggi dan f  = rendah (Kondisi yang jarang terjadi).

Dan penjelasan analisa diatas, kita mengetahui Overflux disebabkan karena faktor sbb ::

- Over Voltage

- Under Frekuensi

Beberapa contoh yang menyebabkan Over Voltage adalah lepasnya beban secara tiba - tiba, Tegangan suplay dari tansmisi yang memang tinggi, Compensator Shunt yang tidak bekerja dengan baik dll. Sedangkan penyebab Frekuens rendah adalah kelbihan beban, pembangkitan listrik dll.

Pada tulisan kali ini kita tidak membahas perihal Over Voltage dan Under Frekuensi, karena sesuai judulnya kita akaan coba mengenal apa itu Over Flux.

Trafo dirancang untuk beroperasi pada atau di bawah kerapatan fluks magnet maksimum di inti transformator. 

Pada Transforamtor dalam kondisi normal, Fluks didalam transformator hanya berada pada inti transformator karena permeabilitasnya yang tinggi dibandingkan dengan volume sekitarnya. 

Ketika kerapatan fluks meningkat melebihi titik jenuhnya (saturasi), sejumlah besar fluks dialihkan ke bagian struktur baja dan ke udara disekelilingnya. semenatara pada inti besi,  akan mengalami panas berlebih. 

Dalam kondisi ketika terjadinya Over Flux, pemanasan yang terjadi dibagian internal transforamtor akan meningkat dan menimbulkan sirkulasi arus yang mengandung harmonisa kedua dan kelima. Yang pada akhirnya menimbulkan rugi rugi yang lebih besar pada transformator dan pada akhirnya menginkgatkan panas yang dapat membahayakan tansformator sendiri. 

Salah satu indikator dari adanya peningkatan panas yang tidak nomal pada internal Transformator adalah timbulnya gas dan terakumulasi pada Relay Buchholz , yang pada titik tertentu akumluasi gas tersebut dapat mengaktifkan Alarm / Trip Bucholz Relay sebagai  akibat dari jumlah gas yang terkumpul.

Dan ketika terjadi Over Flux, fluks berlebih pada transformator,  inti besi menjadi jenuh dan terdapat arus magnetisasi tinggi di rangkaian primer. Dalam kondisi seperti itu, hubungan linier arus dan tegangan antara sisi primer dan sekunder menjadi hilang , sehingga hal ini bisa memicu aktifnya Relay Proteksi Diffrential.

Dari hal diatas, kita mengetahui Overflux pada transformator sangat berbahaya dan apalagi jika berlaku pada rentang waktu yang panjang.

Over Flux tidak dapat dihindari, karena gangguan Over Voltage dan Under Frekuensi dapat saja terjadi setiap saat dan durasi gangguan tersebut tidak bisa dipastikan seberapa lamanya. Dari hal tersebut, kita memerlukan proteksi pada tansformator tersebut terhadap kejadian Over Flux.  

Relay Bucholz dan Diffrential Relay , seperti yang telah dijelaskan diatas secara tidak lansung memang dapat memproteksi Transformator terhadap Over Flux, tetapi kedua proteksi tersebut hanya memproteksi gangguan yang ditimbulkan sebagai akibat dari terjadinya gangguan overflux, bukan memproteksi gangguan overflux. 

Dengan kata lain, kedua relay tersebut tidak berfungsi pada gangguan utama (over flux), tetapi bekerja pada gangguan kedua (Arus diffrential, akumulasi gas dll ) yang ditimbulkan karena gangguan pertama tidak terdeteksi. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan kaidah kaidah relay proteksi yang diharapkan.

Sehingga untuk pengamanan transformator terhadap kondisi over flux kita memerlukan relay proteksi Over Flux.

Terkait dengan pembahasan Relay Proteksi Over Flux akan kita bahas pada postingan berikutnya.


Terima kasih, semoga bermanfaat

Lockout Relay - Master Trip Relay (86)


Lockout Relay
Lockout Relay - Master Trip Relay (86) Lock Out Relay merupakan relai elektromekanis yang apabila aktif (energize) akan mengaktifkan output keluarannya daterus mengunci (lock out) kontak outputnya dan akan terus pada kondisi tersebut , dan akan kembali ke posisi awal (normal) ketika fungsi reset dari relay tersebut diaktifkan (energize).

Sesuai dengan namanya, relai ini ketika aktif akan mengunci seluruh rangkaian instalasi. Yang berarti seluruh rangkaian instalasi tidak dapat dinormalkan kecuali relai ini reset. Karena fungsi tersebut, relai ini memiliki dua jenis koil, untuk mengatifkan relay dan me-reset relay. Reley ini tidak auto reset alias harus dilakukan secara manual.

Kontak output relay ini biasanya digunakan untuk memerintahkan CB utama untuk trip (off), sehingga disebut juga sebagai Master Trip Relay dan kode ANSI nya adalah 86. Biasanya dilengkapi dengan indikator untuk menandakan relay ini sedang aktif, semacam semarphore atau bendera.

Sedangkan untuk pemicu relay ini agar menjadi aktif atau sebagai inputnya adalah semua proteksi yang digunakan pada instalasi tersebut yang dihubngkan secara paralel. Sehingga ketika terjadi gangguan dan salah satu proteksi bekerja, maka akan mengaktifkan Lock Out Relay ini. Ketika keadaan sudah kembali normal, dan proteksi yang sebelumnya aktif sudah kembali kekondisi normal, sistim belum bisa dioperasikan sebelum Lock Out Relay di reset.

Lock Out Relay ini umum digunakan pada Gardu Induk sebagai Master Trip (ANSI 86) pada sistim controlnya. Seperti pada peroteksi satu bay transformer yang terdiri dari Relay Proteksi (Over urrent, Earth Fault, Diffrential dll), Temperature Winding Transformer, Oil Temperature Transformer, Bucholz Relay, Sudden Pressure Transformer, Pressure Relief Transformer dan lain sebagainya.
Semua proteksi yang disebutkan diatas, diparalelkan menjadi satu buah input untuk mengaktifkan Lock Out Relay, sehingga ketika salah satu proteksi tersebut bekerja dikarenakan adanya gangguan, maka Lock Out Relay akan aktif dan mengeluarkan output yang dimanfaatkan untuk mematikan rangkaian tersebut. Seperti pada gambar dibawah ini.

rangkaian Lock Out Relay

Pada gambar diatas, R1 ~ R5 merupakan sinyal yang berasal dari proteksi - proteksi yang digunakan untuk pengamanan suatu sistim. Disini digambarkan hanya 5 buah sinyal proteksi, jumlahnya bisa berapa saja tergantung dari rancangan sistim tersebut.
Ketika terjadi gangguan yang mengakibatkan salah satu atau lebih proteksi bekerja, maka kontak R1 ~ R5 akan bekerja dari NO (Normal Open) ke NC (Normal Close). Dengan aktifnya proteksi tersebut, maka Lock Out Relay akan aktif dan mengeluarkan output yang pada gambar ini digunakan untuk me-trip-kan CB utama, sehingga sistim menjadi OFF.

Ketika gangguan telah hilang dan proteksi kembali normal, maka kontak R1~R5 kembali menjadi NO. Namun Lock Out Relay masih mengunci sehingga CB utama belum bisa diaktifkan (terkunci). Agar sistim kembali bisa dioperasikan, maka tombol Reset harus ditekan sehingga Lock Out Relay kembali kekondisi normal.

Semoga bermanfaat





Hubungan Star dan Delta Pada Kapasitor Daya

Hubungan Star dan Delta Pada Kapasitor Daya - Penggunaan Kapasitor Daya pada sistim Kapasitor Bank dihubungkan secara Bintang (Y) dan adapula secara Segitiga (Delta). Penerapan diantara kedua jenis hubungan tersebut disesuaikan dengan maksud tertentu seperti sistim tegangan, nilai kVAR, fungsi proteksi seperti pendeteksian ketika kapasitor rusak dan lain sebagainya. 

Pada postingan kali ini dibahas mengenai perbedaan antara kapasitor yang terhubung secara Bintang (Y) dan Segitiga (Delta) pada sistim tegangan.

Hubungan Bintang (Y) - Kiri - Hubungan Segitiga (Delta) - Kanan


Hubungan Star dan Delta Pada Kapasitor Daya

Kapasitor Bank yang kapasitornya dihubungkan secara delta umumnya banyak diterapkan pada sistim tegangan rendah (low voltage) biasanya pada tegangan 380 VAC. Namun demikian bukan berarti kapasitor dengan hubungan segitiga tidak bisa diterapkan pada tegangan medium voltage (> 1 kV). 

Penetapan hubungan delta pada sistim low voltage adalah pada pertimbangan faktor ekonomis. Dimana harga sebuah kapasitor dengan nilai kapasitansi yang sama akan menjadi lebih mahal ketika nilai rating tegangannya lebih tinggi. 

Ketika kapasitor terhubung secara segitiga (Delta), kedua terminal dari sebuah kapasitor tersebut terhubung secara phasa ke phasa ketegangan sistim. Sehingga ketika dihubungkan ke suplay , tegangan yang ada pada ke dua terminal kapasitor adalah misalkan 380 VAC (Sesuai tegangan sistim). 

Dan apabila hubungan ini diterapkan pada tegangan diatasnya (> 1 kV, Medium Voltage), maka dibutuhkan kapasitor yang besaran tegangannya harus sama dengan nilai tegangan phasa ke phasa sistim tersebut. Sehingga apabila digunakan pada Medium Voltage dengan nilai 6.3 kV atau 20 kV, maka kapasitas tegangan kapasitor tersebut haruslah pada 6.3 kV sehingga dari sisi ekonomis tentu saja lebih mahal.

Untuk pertimbangan diatas, maka untuk tegangan medium (>1 kV) hubungan kapasitor lebih baik digunakan hubungan Bintang (Y). Karena, ketika terhubung bintang, kedua terminal kapasitor tersebut  terhubung ke phasa dan satunya lagi ke netral. Pada tegangan medium , misalkan  suplay 6.3  kV yang terhubung kekapasitor adalah phase dan Netral, sehingga nilainya adalah 1/V3 (1/1.732)  dari tegagnan phasa ke phasa, dan pada contoh ini adalah 6.3 kV /1.732 sehingga nilai nya menjafi 3.63 kV. 

Dan rating tegangan kapasitor yang digunakan tidak perlu harus 6.3 kV, melainkan cukup pada tegangan 3.63 kV. Hal ini tentu saja lebih ekonomis dibanding tetap menggunakan hubungan delta pada Medium Voltage.

Penyesuaian hubungan Delta dan Segitga pada rating tegangan tertentu disamping menguntungkan dari sisi ekonomis, berdampak juga terhdap perubahan nilai kVAR kapasitor tersebut. Hal ini dapat dilihat pada contoh perhitungan dibawah ini :

Rumus menghitung nilai kVAR (Q) kapasitor terhubung delta (segitiga) :

Q = 3V2/ Xc

Xc = 1 /  (2pFC)

Dimana :
Q = Daya Reaktif (VAR)
V = Tegangan Sistim  phasa ke phasa
Xc = Nilai Kapasitansi (ohm)
F = Frekuensi sistim
C = Nilai kapasitor (Farad)

Rumus menghitung nilai kVAR (Q) kapasitor terhubung Bintang (Y):

Q = V2/ Xc

Xc = 1 /  (2pFC)

Dimana :
Q = Daya Reaktif (VAR)
V = Tegangan Sistim  phasa ke phasa
Xc = Nilai Kapasitansi (ohm)
F = Frekuensi sistim
C = Nilai kapasitor (Farad)

Dari rumus diatas terlihat bahwa nilai Q (VAR) pada hubungan Delta (Segitiga) tiga kai lebih besar dari nilai VAR pada hubungan Bintang untuk nilai V dan C yang sama.

Seperti yang dibahas diatas,  pada medium voltage, kebanyakan kapasitor dihubungkan secara bintang, meskipun konsekuensinya nilai Q nya (VAR) menjadi lebih rendah dibanding dengan hubungan Delta. Hal ini karena secara ekonomis, secara keseluruhan faktor kenaikan rating tegangan pada kapsitor tetap lebih dominan dibanding dengan penambahan VAR untuk mengkompensasi penurunan VAR karena hubungan bintang tersebut.

Demikian, semoga bermanfaat







Pengaruh SKIN EFFECT & PROXIMITY EFFECT terhadap tahanan AC kabel konduktor

Pengaruh SKIN EFFECT & PROXIMITY EFFECT terhadap tahanan AC kabel  konduktor 

-  SKIN EFFECT

Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan hubungan antara nilai tahanan AC (Rac) dengan nilai tahanan DC (Rdc), dimana Nila Tahanan AC (Rac) merupakan besaran nilai tahanan DC (Rdc) yang dipengaruhi oleh Skin Effect dan Proximity Effect, sehingga rumus dari tahanan AC menjadi : 

Rac=Rdc[1+αs+αp]

Dimana,
Rac     = Nilai tahanan AC 
Rdc     = Nilai tahanan DC
αs        = Skin effect factor 
αp       = Proximity effect factor 

Adapun Skin Effect sendiri merupakan efek yang ditimbulkan oleh arus AC yang mengalir pada sebuah konduktor yang cenderung menjauhi inti kabil dan hanya mengalir pada bagian pemukaan kabel. 

Semakin tinggi besaran frekuensi arus yang melewati konduktor akan semakin besar kerapatan arus yag mengalir pada permukaan konduktor tersebut. Sehingga kerapatan arus pada pusat konduktor menjadi berkurang. 

Karena penyebaran arus yang tidak merata dan cendrung menjauhi inti kabel kearah luar/permukaan  konduktor, maka luas penampang yang benar benar dimanfaatkan arus untuk mengalir semakin kecil. Dikarenakan luas penampang yang mengecil, maka tahanan pada konduktor meningkat. 

Dibandingkan dengan arus DC pada ukuran konduktor yang sama, ketika arus DC dialiri pada kabel konduktor kerapatan arus pada penampang konduktor terbagi secara merata, dan luas penampang konduktor termanfaatkan seluruhnya, sehingga nilai tahanan DC menjadi rendah.

Perbedaan mendasar antara arus DC dan AC adalah pada nilai frekuensi. Arus AC memiliki siklus gelombang per perioda waktu, sehingga memiliki nilai frekuensi dengan jumlah gelombang tertentu pada range waktu 1 detik. 

Sementara arus DC tidak memiliki perubahan, sehingga nilai frekuensinya adalah 0. Sehingga seperti yang dijelaskan diatas , semakin tinggi frekuensi suatu arus yang melalui suatu konduktor maka semakin besar gaya yang mendorong arus tersebut untuk mengalir pada permukaan kabel konduktor.




Gambar diatas memperlihatkan kerapatan arus pada penampang kabel dengan ukuran yang sama ketika dialiri arus DC maupun AC. Semakin tinggi frekeuensi arus yang mengalir pada kabel konduktor, kerapatan arus cenderung mengecil pada inti kabel konduktor dan tinggi pada sisi luar.

Dengan gambaran diatas, terlihat kenapa tahanan AC lebih besar dari pada tahanan DC pada sebuah kabel konduktor.

Sudah dijelaskan diatas, frekuensi arus sangat berperan dalam membentuk SKIN EFFECT. Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa besar area penampang kabel yang efektif digunakan untuk dialiri arus pada fekuensi tertentu. Untuk menjawab hal tersebut, terlebih dahulu kita harus mengenal istilah SKIN DEPTH.

Yaitu seberapa tebal kulit yang dibentuk dari arus AC yang dialirkan pada kabel konduktor itu. Seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini.


Ketebalan SKIN DEPTH (d) dipengaruhi oleh besarnya frekuensi dari arus yang mengalir pada kabel konduktor. Semakin rendah frkeuensi maka Skin Depth akan semakin tebal, dan Skin Depth akan mencapai maksimum ketika frkeuensi arus tersebut adalah 0 (arus DC).

SKIN DEPTH (d) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :



- PROXIMITY EFFECT (EFEK PROXIMITY)

Ketika dua kabel konduktor yang dialiri arus saling berdekatan akan menimbulkan medan magnet di sekitar konduktor tersebut. Fluks yang dihasilkan oleh masing – msaing kabel konduktor akan saling mempengaruhi konduktor lain dan menghasilkan arus eddy (Eddy Current) yang menyebabkan peningkatan nilai tahanan pada kabel kondktor itu.

Dikarenakan efek proximity ini maka distribusi arus dalam kabel konduktor akan berubah dan arus tersebut cenderung terkonsentrasi jauh dari pusat konduktor. Hal ini menyebabkan berkurangnya luas penampang konduktor.

Berikut adalah gambar distribusi arus dalam kabel konduktor yang saling berdekatan ketika arus mengalir dengan arah yang sama :




Distribusi arus dalam kabel konduktor yang berdekatan ketika arus mengalir dengan arah yang berlawanan :



Efek kulit (Skin Effect) akan menyebabkan arus terkonsentrasi jauh dari pusat kabel konduktor dan semakin tinggi frekuensi arus yang melewati kabel konduktor tersebut, maka skind depth akan menjadi lebih kecil.

Dengan adanya efek proximity, luas area penampang kabel yang sebelumnya sudah diperkecil  oleh Skin Effect akan diperkeil lagi .Sehingga kedua effect ini akan memperbesar nilai tahanan AC pada kabel konduktor.

Perbedaan Tahanan AC dan Tahanan DC pada kabel konduktor

Perbedaan Tahanan AC dan Tahanan DC pada kabel konduktor - Dari namanya kita bisa menyimpulkan, Tahanan DC (DC Resistance) adalah besarnya nilai tahanan ohm/km kabel konduktor tersebut ketika dialiri oleh arus DC, sedangkan Tahanan AC (AC Resistance) adalah besarnya nilai tahanan ohm/km kabel konduktor tersebut ketika dialiri oleh arus AC. 


Pada data sheet kabel konduktor sering kita melihat 2 buah tahanan sebesar ohm/km, yaitu Tahanan DC (DC Resistance) dan Tahanan AC (AC Resistance), seperti pada gambar data sheet kabel dibawah ini. 




Dari data sheet tersebut, kita mengetahui karaketeristik tahanan kabel konduktor ketika digunakan untuk mendistribusikan suplay DC maupun suplay AC. 

Pada artikel kali ini, kita coba membahas lebih dalam apa sebenarnya tahahan DC dan tahanan AC pada kabel konduktor.

Rumus nilai tahanan pada sebuah konduktor dinyatakan dalam bentuk sbb :

R= ρ.L/A
Dimana,
ρ = Resistivity konduktor (Ω⋅m)
L = Panjang konduktorr(m)
A = Luas area penampang konduktor( M2)

Nilai tahanan yang dihasilkan dari perhitungan yang menggunakan rumus diatas merupakan nilai tahanan untuk Tahanan DC. Dari persamaan diatas, faktor yang mempengaruhi besar kecilnya nilai tahanan DC adalah jenis bahan konduktor yang digunakan (ρ) , panjang konduktor tersebut (L) dan berbanding terbalik dengan luas penampang kabel (A).

Ketika arus DC mengalir melalui sebuah kabel konduktor dengan panjang tertentu (L), seluruh luas penampang konduktor (A) tersebut termanfaatkan secara penuh dan dengan demikian nilai tahanan DC menjadi lebih kecil. 

Sementara itu, ketika arus AC dialirkan melalui kabel konduktor yang sama (L), arus AC tersebut tidak terdistribusi secara merata pada seluruh penampang kabel (A) dan hanya terkonsentrasi di dekat permukaan konduktor sehingga area penampang efektif yang dialiri arus berkurang dan menyebabkan nilai tahanan meningkat. 

Dan pada kenyataanya, nilai  tahanan AC lebih besar dari pada nilai tahanan DC dan perhitungan nilai tahanan AC dan DC sangat penting dalam pemilihan kabel konduktor untuk mengurangi rugi rugi daya pada suatu hantaran kabel.

Kalau tahanan DC,  murni dipengaruhi oleh material kabel konduktor (ρ), panjang kabel konduktor (L), dan luas penampang kabel (A), maka untuk nilai tahanan AC, terdapat 2 komponen tambahan yang memiliki pengaruh besar terhadap besar kecilnya nilai tahanan AC pada kabel konduktor, yaitu :
  • Skin Effect
  • Proximity Effect

Sehingga rumus untuk menghitung nilai tahanan AC adalah sbb : 

Rac=Rdc.[1+αs+αp]

Dimana,
Rac     = Nilai tahanan AC 
Rdc     = Nilai tahanan DC
αs        = Skin effect factor 
αp        = Proximity effect factor 

Dari persamaan diatas, terlihat hubungan antara nilai Tahanan AC (Rac) dengan nilai Tahanan DC (Rdc). Selanjutnya pada artikel berikutnya akan coba kita bahas mengenai apa itu SKIN EFFECT dan PROXIMITY EFFECT

Demikian, semoga bermanfaat.


VSD - Mode Operasi Vektor Open Loop

VSD - Mode Operasi Open Loop Vektor - Kelanjutan dari postingan sebelumnya (di link ini) , Metode berikutnya adalah Open Loop Vector (OLV) atau disebut juga sensor less vector. Hampir mirip dengan metode Vector V/F (seperti yang kita ulas pada postingan sebelumnya. Sesuai dengan namanya “open loop”, metode ini juga tidak menggunakan encoder alias tanpa sinyal feedback.
Keuntungan dari meotde ini adalah lebih besar ruang yang tersia untuk pengaturan/pengontrolan motor.
Ketika VSD dioperasikan dengan menggunakan metode ini… torsi yang dihasilkan bisa mencapai 200% pada frekuensi 0.3 -  0.5  HZ. Dengan tingginya torsi yang dapat dihasilkan pada putran rendah (0.3 – 0.5 Hz), hal ini dapat dimanfaatkan pada berbagai aplikasi peralatan yang membutuhkan torsi yang lebih tinggi pada putaran rendah.

Dengan metode ini, limit torsi dapat diatur sesuai keinginan berdasarkan 4 quadrant torsi limit. Spt gambar “Quadran Torsi Limit” diabawah ini :



Torsi Limit utamanya digunakan sebagai pembatas torsi sebuah motor untuk mencegah kerusakan pada peralatan atau mesin  yang disebabkan karena kelebihan torsi pada motor penggeraknya.
Pada gambar diatas, torsi limit dibagi atas 4 kuadrant berdasarkan arah putaran motor dan kondisi saat motoring maupun generating.

Close Loop Vector
Metode Close Loop Vector (CLV) menggunakan algoritma vektor untuk menentukan tegangan output seperti metode OLV. Perbedaan utama sekarang adalah penambahan sebuah encoder sebagai feedback sinyal. Umpan balik encoder dipasangkan dengan metode kontrol vektor memungkinkan torsi start motor 200% pada 0 rpm .Fitur ini diperlukan untuk menahan/memegang beban agar tidak bergerak, seperti pada lift, elevator, crane, dan kerekan.

Umpan balik pembuat encoder ini memungkinkan respons kecepatan tertinggi, lebih dari 50 Hz, dan juga rentang kendali kecepatan tertinggi 1: 1500. Metode CLV juga memiliki kemampuan untuk menjalankan motor dalam mode kontrol torsi. Mode kontrol torsi memungkinkan VFD untuk secara langsung mengontrol torsi motor daripada kecepatan motor.Hal ini diperlukan untuk aplikasi apa pun di mana torsi diprioritaskan daripada kecepatan .. seperti untk penggulungan belitan , benang, kabel dll.


Demikian...